RESILIENSI

Oleh Pintauli Simanjuntak, S.Pd, M.Psi

Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk tetap kuat dan mampu menyesuaikan diri dalam menghadapi masa-masa sulit. Tak hanya menjadikan seseorang tahan menghadapi tekanan, resiliensi juga membuatnya mampu bangkit dari keterpurukan.

Sebaliknya, orang yang kurang memiliki resiliensi cenderung mudah menyerah dan bisa sampai pada titik mengakhiri hidupnya sendiri, sebagaimana beberapa kasus menyedihkan tentang anak muda berprestasi yang memilih jalan tragis tersebut.

Karena resiliensi bukanlah kemampuan yang diwariskan secara alami, melainkan suatu keterampilan hidup yang harus dibangun melalui pembelajaran dan latihan, maka sangat penting bagi para orangtua untuk mulai menanamkannya sejak anak-anak masih kecil. Salah satu caranya adalah dengan mendampingi mereka saat menghadapi masalah. Perlu diingat, mendampingi bukan berarti menyelesaikan masalah untuk mereka, tetapi membimbing agar anak dapat memperkuat dirinya dan menghadapi tantangan secara mandiri. Berikut beberapa contoh untuk menggambarkan bagaimana resiliensi bisa dikembangkan:

a. Balon warna kuning

Seorang ibu menjemput anak TK-nya yang murung karena mendapat balon warna kuning, sementara warna favoritnya adalah merah. Dua pilihan sikap bisa diambil ibu:

●        Pilihan 1: Ibu mencari balon merah sebagai pengganti, baik dengan meminta ke guru atau membeli sendiri. Cara ini memang menghibur, tetapi tidak membantu anak belajar menghadapi kekecewaan.

●        Pilihan 2: Ibu memuji balon kuning dan mengaitkannya dengan hal positif, seperti telur yang kuningnya lezat. Sikap ini membantu anak belajar menerima situasi dan memperkuat daya juangnya.

b. Nilai buruk dalam ujian

Rafa, siswa kelas 4 SD, mendapat nilai buruk dalam ujian Matematika. Ia merasa dirinya bodoh, enggan belajar, dan takut dimarahi oleh orang tuanya. Dua respons orangtua mungkin terjadi:

●        Pilihan 1: Orangtua memarahi Rafa karena menganggapnya tidak serius belajar dan tidak teliti dalam mengerjakan soal Matematika. Tindakan ini tidak membantu anak belajar menghadapi kegagalan, bahkan menyalahkan anak atas kegagalan.

●        Pilihan 2: Orangtua berdiskusi terbuka dengan anak, menjelaskan bahwa nilai yang belum bagus itu bisa diperbaiki, yang penting tetap semangat untuk belajar. Ceritakan saat orang tua dulu juga pernah gagal, dan bagaimana bangkit kembali. Ini membuat anak merasa tidak sendiri. Dan jika nilai anak sudah naik meskipun sedikit, berikan pujian.

c. Tidak diajak ‘ngafe’ oleh teman geng

Seorang remaja merasa tersingkir setelah melihat unggahan teman-teman gengnya nongkrong tanpa dirinya. Ia curhat ke ibunya dan mengurung diri di kamar. Dua respons dari ibu dapat terjadi:

●        Pilihan 1: Ibu menanyakan langsung ke orangtua teman dan menyarankan anak menjauh dari teman-teman tersebut. Ini tidak membangun ketahanan emosi.

●        Pilihan 2: Ibu mengajak anaknya berdialog, menyarankan agar tetap bersikap seperti biasa dan memberi ruang kemungkinan adanya alasan yang tidak disengaja dari teman-temannya. Dengan cara ini, anak belajar untuk tidak mudah tersinggung dan tetap terbuka.

Sebagai orangtua dan pendidik, kita memiliki tanggung jawab untuk melatih anak-anak agar mampu menghadapi kegagalan, kesedihan, dan kekecewaan dalam hidup. Resiliensi perlu ditanamkan sejak dini agar mereka tumbuh menjadi pribadi tangguh yang tak mudah menyerah. Mari mencegah tragedi akibat rapuhnya jiwa anak-anak muda dengan membangun ketahanan mental mereka. Ingatlah pepatah, "Apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat."